Pages

SELAMAT DATANG DI SITUS DUNIA ILMU PENGETAHUAN, SITUS INI MENAMPILKAN ANEKA MACAM ILMU PENGETAHUAN, DARI MULAI CARA MENDATANGKAN PENGUNJUNG, TIPS N TRIK, SEJARAH, KEJADIAN DIDUNIA, DUNIA PENDIDIKAN, FLORA & FAUNA,PAY PER CLICK, CARI UANG DI INTERNET, DAN MASIH BYK LAGI YG LAIN NYA, SITUS INI HTTP://DUNIAILMU-PENGETAHUAN.BLOGSPOT.COM
Apakah Anda Menyukainya? Jangan lupa Klik Tombol Suka :

Minggu, 21 Agustus 2011

5 Pahlawan Wanita Indonesia


1. Cut Nyak Dien ( 1848 – 6 November 1908 )

Cut Nyak Dien diperkirakan lahir pada tahun 1848 dan ia meninggal pada tanggal 6 November 1908 di kota Sumendang. Seorang pahlawan wanita yang berasal dari Aceh. Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya. Dia berjuang dikarenakan wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.

Dua tahun kemudian sosok Teuku Umar datang kedalam kehidupannya, pada tahun 1880 Teuku Umar melamar Cut Nyak Dien, tetapi Cut Nyak Dien menolak lamaran tersebut, dan pada akhirnya Cut Nyak Dien menerima lamaran dari Teuku Umar dengan syarat Teuku Umar mengizinkan dirinya untuk berjuang melawan pemerintahan Belanda. Pasangan ini di karuniakan seorang Putri yang bernama Cut Gambang dan setelah sekian lama berjuang Teuku Umar akhirnya gugur di medang perang pada tahun 1899. Dan 9 tahun kemudian Cut Nyak Dien menyusul kepergian suami keduanya di karenakan sakit dipengasingannya di Sumedang. Cut Nyak Dien diputuskan mejadi Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 2 Mei 1964 oleh Presiden Soekarno.

2 . Raden Ajeng Kartini ( 21 April 1879 – 17 September 1904 )

R.A Kartini lagir pada tanggal 21 April 1879 di kota Jepara, pahlawan nasional yang lahir dari kalangan Priayi kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat seorang Bupati Jepara, dan keturunannya pernah di telusuri bahwa ia adalah salah satu keturunan dari Sri Sultan Hangkubowono IV. Anak ke – 5 dari 11 bersaudara ini memperjuangkan pendidikan gratis di daerah Jepara dan Rembang yang dikhususkan untuk para kaum putri yang ada pada saat itu. R.A Kartini yang fasih berbahasa Belanda ini sering mengeluh tentang keadaan dengan cara menulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar dan oleh Sulastin Sutrisno di jadikan buku dan diterbitkan dengan judul Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya.

Pada Tanggal 12 November 1903 R.A Kartini di nikahkan dengan Bupati Rembang K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang sudah mempunyai 2 istri sebelumnya. Pada tanggal 13 September 1904 R.A Kartini melahirkan seorang Anak dari hasil pernikahan dan 17 hari kemudian setelah itu R.A Kartini menutup usianya. Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”.

3. Dewi Sartika ( 4 Desember 1884 - 11 September 1947 )

Dewi Sartika wanita lahir di kota Bandung pada tanggal 4 Desember 1884, dikenal sebagai seorang yang memperjuangkan pendidikan untuk kaum wanita dan diakui oleh pemerintah pusat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 1964. Dewi Sartika dilahirkan dari kalangan keluarga priyayi Sunda , putri dari Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Pada saat itu kaum wanita oleh adat setempat wanita dilarang mengenyam pendidikan, namun orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, tanpa tanggung – tanggung Dewi Sartika disekolahkan di Sekolah Belanda. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai budaya dan tentang kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen Belanda.

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, dikarenakan profesi dari suaminya ada seorang guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Bakat pendidik sudah muncul pada saat Dewi Sartika masih tergolong anak – anak, pada akhirnya cita – cita terwujud pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya pada sekolah yang didirikannya terdiri dari tiga orang; Dewi Sartika dengan dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, ruang kelasnya menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.

4. Martha Christina Tiahahu ( 4 Januari 1800 – 2 Januari 1818 )

Martha Christina Tiahahu adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut. Lahir pada tanggal 4 Januari 1800, anak dari Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga sebagai teman perjuangan dari Thomas Matulessy Kapitan Pattimura dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.

Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dari peperang dan jiwanya yang terkenal dengan pantang mundur. Penampilan dari pahlawan nasional ini selalu membuat rambutnya yang panjang terurai ke belakang dengan sehelai kain berang (merah) yang di lingkarkan di kepalannya. Ia tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua, tidak mengenal siang dan malam ia selalu ada dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita yang ada pada saat itu agar ikut membantu kaum pria disetiap medan pertempuran dan berdampak pada Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang. Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer jasadnya dilemparkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818. Menghargai jasa dan pengorbanan, Martha Christina dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.

5. Nyi Ageng Serang (1752 – 1828 )

Nyi Ageng Serang yang bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi yang di perkirakan lahir pada tahun 1752, adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putri dari Pangeran Natapraja yang menguasai wilayah terpencil dari kerajaan Mataram tepatnya di Serang yang sekarang wilayah perbatasan Grobogan-Sragen. Ayahnya Pangeran Natapraja adalah panglima perang dari Sultan Hamengku Buwono I yang yang melawan pemerintahan kolonial di daerah Serang, dan pada saat itu juga Nyi Ageng Serang sudah dibawa dan ikut ayahnya berperang ketika ia masih anak – anak.

Setelah ayahnya wafat Nyi Ageng Serang menggantikan kedudukan ayahnya untuk memimpin wilayah yang menjadi kekuasaan ayahnya dulu. Selama memimpin, Nyi Ageng Serang dikenal dekat dengan rakyatnya, ia selalu membantu kesegsaraan rakyatnya dengan membagi-bagikan bahan pangan. Dikabarkan bahwa Nyi Ageng Serang adalah salah satu keturunan Sunan Kalijaga, dan juga ia juga mempunyai keturunan seorang Pahlawan nasional yaitu Soewardi Soerjaningrat atau biasa di kenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Ketika perang Diponegoro meletus, Nyi Ageng Serang turut serta dan didampingi oleh menantunya Raden Mas Pak-pak yang juga ikut bertempur melawan Belanda. Nyi Ageng bertempur dan memimpin pasukannya dari tandu karena usianya yang sudah mencapai 73 tahun. Setelah 3 tahun ikut membantu Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng Serang mengundurkan diri dari medan perang dan digantikan oleh menantunya Raden Pak-Pak. Dan tidak lama setelah itu pada tahun 1828 ia menutup usianya dan dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo.

Sumber

0 komentar:

FreeWebSubmission.com Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free! Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free! Copy the Highlighted Code to your Web Page: Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free! Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free! Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free! Submit Your Site To The Web's Top 50 Search Engines for Free!